Bismillahi rahmaani rahiim.
Sedikit terlambat memang, saat membuat ulasan soal kemerdekaan. Dari tahun ke tahun, gelaran kemerdeaan semakin megah dan nampak hikmad. Tak sedikit media menayangkan detik-detik pengibaran bendera negara kita. Tapi fokus kali ini bukanlah pada upacaranya, melainkan pasca perhelatan tersebut.
Sudah menjadi bahan perbincangan hangat dikalangan masyarakat soal "sudakah kita merdeka?" atau "benarkah kita merdeka?" . Jujur saja, beberapa tahun belakangan ini saya tidak tertarik untuk menanggapi tipikal pertanyaan seperti ini, yang sifatnya tendensius, dan cenderung membuat definisi dari kata merdeka menjadi abstrak. Terlebih lagi saat mencari referensi dari dunia literasi; yang cenderung mendefinisikan merdeka kedalam hal berbeda. Rasanya njilimet banget.
Jika ditanya sudakah kita merdeka, tegas saya menjawab, kita sudah merdeka. Buktinya kita tidak lagi harus melakukan kontak fisik di medang perang. Juga tidak lagi harus mengendap di gulita malam dan menyusun strategi melawan musuh. Namun beda hal jika pertanyaannya adalah "benarkah kita merdeka?" , maka ini hal yang sedikit berbeda.
Anggap saja merdeka adalah sadar dan hilang kesadaran adalah terjajah. Saya masih ingat benar, dahulu, ayah dan ibu sering membangunkan kami dengan cara yang mungkin sedikit berbeda. Tanpa memanggil nama kami berulangkali dan tentunya tanpa ceramah. Sering beliau membangunkan kami dengan cara langsung menuntun kami ke kamar mandi dalam keadaan masih setengah sadar, dan baru benar-benar terjaga saat di depan kamar mandi atau saat dingin air merayapi kulit. Mengingat hal itu saya kemudian berpikir, mungkin seperti inilah kondisi kita saat ini. Kita memang sudah merdeka, sudah terbangun dari tidur, tetapi tidak seutuhnya sadar.
Bangsa ini memang sudah merdeka, tetapi belum sepenuhnya terbangun, belum sepenuhnya sadar. Kita masih terdekap hangat dari sisa kobar nyala api penjajahan, dan masih harus berjuang keras untuk membasahi Bumi Pertiwi dengan guyuran peluh, agar kita benar-benar sadar, seutuh utuhnya. Bukan tanpa alasan mengungkapkan hal ini, sebab para pengasuh bangsa amat tekun menina bobokan kita, saat bangsa lain tengah mengangkat pena dan menulis lembaran baru dalam sejarah.
Gambar oleh El Sonrisa |
Makassar, 21 Agustus 2017
Komentar
Posting Komentar