Sastra dan nilai-nilai kearifan budaya lokal merupakan dua elemen penting yang sejatinya saling melengkapi satu dan lainnya. Satu sebagai wadah dan satunya lagi sebagai pemberi nilai atau esensi kearifan berbudaya yang lebur dalam karyap-karya sastra tanah air.
Saking eratnya hubungan antara sastra dengan suatu kebudayaan, tak jarang sastra dijadikan sebagai penanda dari peradaban itu sendiri. Semisal dalam hal analisis tatanan kehidupan bermasyarakat pada abad-abad sebelumnya dari suatu wilayah, maka peneliti dapat memeroleh data-data akurat melalui riset karya-karya sastra dari masa itu dan meneliti unsur-unsur intrinsik, seperti susunan kata, kalimat, pemilihan diksi dan hal-hal yang menjadi objek dari karya sastra tersebut. Bahkan lebih dari itu, sastra tidak hanya dapat menjadi referensi dalam melakukan riset kebudayaan masyarakat secara luas, sastra mampu menjadi rujukan dalam melakukan penelitian-penelitian untuk memeroleh data-data yang berkaitan dengan kondisi kepribadian seseorang melalui tulisannya.
Sastra tak ubahnya air dalam suatu wadah, wadah yang kita sebut sebagai budaya. Dimana budaya berfungsi sebagai wadah dalam bentuk waktu dalam keseharian masyrakat menjalani kehidupan, sedang sastra memiliki peranan sebagai air yang menjadi aspek pemicu kesadaran dalam berkegiatan sepanjang hari dan sebagai aspek yang memunculkan nilai dari tatanan kehidupan itu sendiri. Sederhananya, sastra telah menjadi pemupuk moral masyarakat agar menjalani hidup dengan penuh keteraturan dan nilai manfaat.
Romantisme kebudayaan dan sastra memiliki cakupan yang sangat luas. Tak jarang kita menemukan budaya yang menjadikan karya sastra sebagai dasar dalam kesehariannya, semisal budaya masyarakat bugis dalam bercocok tana yang mulai dari pemilihan lahan, pembukaan lahan, pemilihan bibit hingga memanen hasil pertanian yang begitu erat kaitannya dengan kisah-kisah yang ada dalam naskah i la galigo. Atau tradisi "umba-umba" (tradisi menyajikan kue onde-onde dalam masyarakat Bugis-Makassar) yang merupakan peleburan nilai secara filosofis dari kisah-kisah tu manurung dalam naskah i la galigo.
Sumber gambar camanecraft.blogspot.co.id |
Sastra, selain menjadi penanda waktu juga mampu menjadi peta dari kebudayaan masyarakat. Semisal dalam analisis fonentik naskah-naskah kuno. Dimana bentuk-bentuk aksara yang ada merupakan simbolisasi atau perlambangan dari nilai kebudayaan masyarakat. Contoh ini dapat kita lihat melalu huruf "//" (Ka) pada aksara Lontara yang memiliki nilai kesadaran akan peranan kita masing-masing. "Tena na anjari ata punna tena sombana, ingka tena na anjari somba punna tena atanna" yang memiliki arti "tidak akan menjadi seorang hamba atau bawahan yang baik jika tidak memiliki Tuhan atau pemimpin, akan tetapi tidak pula akan menjadi seorang pemimpin jika tidak memiliki bawahan atau pengikut". Jika kita nalarkan secara lebih luas maka aksara ini menekankan kesadaran kita dalam menjalankan peranan kita masing-masing, seorang bawahan haruslah menjadi sosok bawahan yang baik dan patuh, sedang di sisi lainnya, pemimpin juga harus menjadi sosok atau pribadi yang bermartabat, tidak mengabaikan hak-hak bawahannya serta mampu mempertanggungjawabkan setiap perintah yang diberikannya.
Makassar, 22 September 2015
Komentar
Posting Komentar