Kematian adalah sebuah keniscayaan dan tangislah lagu pengiringnya. Hidup tidak mesti melulu menyoalkan mencari rezeki dan melepaskan dahaga, juga lapar. Kita tak harus selalu melaju dengan begitu lesat dalam lintasan. Ada masa dimana kita harus berhenti sejenak dan mulai belajar untuk tertaih bersama langkah.
Manusia sebagai monumen kehidupan merupakan metamofosis dari keberagaman laju langkah kita. Selalu ada masa untuk setiap hal-hal yang tidak menghasilkan tetapi memiliki esensi padat nilai. Semisal memerhatikan langkah kaki atau menakar seberapa bungkuk punggung kita hari ini; sudah seberapa dekat pandangan kita dengan tanah yang dipijak.
Sumber: El Sonrisa |
Sejatinya, kehidupan kita adalah sebuah perjalanan tetapi tidak melulu kita harus berjalan dengan laju. Beristirahat adalah pilihan yang bijak saat lelah, sejenak memberhentikan langkah melihat sekitar, menakar setiap ingatan dan mendekap nafas kita dengan benar. Sebab bukan satu hal mustahil, jika poros kita tak lagi jati, boleh jadi beberapa langkah lurus kita memang ia, tetapi lintasanlah yang melengkung.
Kita adalah monumen hidup, perjalanan kita mampu bercerita tentang realita-trealita semu masa kini dan tangisanlah yang menjadi hakim atas kebenaran kesaksian nafas ini. Semakin dalam jerit tangis sedih, maka semakin pula benar langkah-langkah yang selama ini kita tapak. Sedang semakin bingar tangsi dan gelak tawa, maka semakin pula kita telah menjadi monumen yang hidup dalam realita semu.
Enrekang, 17 Februari 2017
Komentar
Posting Komentar