Mewawancarai seseorang adalah hal baru begaiku, secara formal. Tetapi sebelum ini, mewawancarai "hal" termasuk sangat menggiurkan untuk digemari. Kemarin (10 Februari 2017), diperjalanan menuju kantor, seperti biasa saya banyak menyapa orang-orang sawah yang sangat ceria. Dengan penuh semangat menghalau burung pipit menerbangkan bulir-bulir biji padi yang mulai menguning. Keceriaan mereka telah menjadi sarapan tersendiri bagiku, terutama sebagai pengingat atas kuasaNya dan sebagai pengingat bahwa beberapa baris doa kita adalah hak dari pak tani.
Tiba di tinkungan; entah ditikungan keberapa, kendaraanku seolah melabat dengan sendirinya, melihat kak Jaga (salah satu orang-orangan sawah yang biasanya ceria) duduk termangu di tengah ladang. Hal ini sangat asing bagiku, bahkan teramat asing. Sudah tentu pak Jaga tengah memikirkan sesuatu. Melirik kearaha jam tanganku, waktu beberapa menit sepertinya bisa aku luangkan untuk mendengarkan cerita pak Jaga.
"Assalamu alaikum, pak Jaga. Ada apa, murung begitu?"
"Ah, kamu ternyata. Ia, nak. Bapak lagi memikirkan nasib anak dan istri bapak"
"Memangnya kenapa, pak? Bukannya ladang disini masih cukup luas untuk keluarga pak Jaga?"
"Ya, memang. Ladang disini cukup luas untuk saya dan keluarga. Hanya saja, belakangan ini bapak menjadi sedikit cemas, kalau-kalau pak Tani sudah tidak lagi membutuhkan bapak"
"Loh, memangnya pak Tani ada orang-orangan sawah baru?"
"Bukan itu, nak. Kalau misalkan pak Tani punya orang-orangan sawah baru, ya bapk ikut senang, artinya semakin banyak teman bapak dan semakin ringan pula kerjanya menjaga sawah.
"Lantas?"
"Apa anak tidak memperhatikan? Makin hari sawah semakin sempit? Makin hari, makin sibuk orang menanam rumah-rumah, bahkan ada yang menanam hotel, pusat perbelanjaan, jembatan, tiang listrik dan berbagai hal lainnya; bergantung pada pendidikan mereka. Makin sedikit orang yang mau menanam sawah"
"Mmmm.."
"Belum lagi, harga pupuk yang semakin mahal dan adanya beras impor murah, jelas membuat pak Tani makin kesulitan. Nah, kalau pak Tani kesulitan menanam padi, jelas artinya tak ada sawah, kalau tak ada sawah pak Jaga harus kerja apa? dan kalau pak Jaga tidak kerja, anak istri bapak harus makan apa, nak?"
Air mata pak Jaga mulai menetes, ia tertunduk, kecemasan rupanya telah mengakar dalam hatinya. Aku yang seorang pekerja dibidang teknologi, tak mampu berbuat banyak atas apa yang dicemaskan oleh pak Jaga. Satu-satunya hal yang bisa kulakukan hari itu adalah menepuk pundaknya dan menyemangati seadanya kemudian berlalu pergi.
Komentar
Posting Komentar