Langsung ke konten utama

Catatan; Papua I

Ada rasa haru tersendiri saat mendengarkan lagu Aku Papua yang dipopulerkan oleh Edi Kondologit. Ada banyak hal berharga yang dapat kita petik sebagai renungan, untuk kembali menelisik konsep berbangsa, bernegara dan berdemokrasi.

Betapa tidak. Tidakkah kita teringat bagaimana ketika hari senin kita datang lebih awal untuk melaksanakan upacara pengibaran bendera merah putih? Bukan hanya datang lebih awal, kita bahkan mengenakan seragam yang baru saja dicuci. Sedari kecil kita telah dididik untuk menjadi seorang yang berbangsa, bernegera dan berdemokrasi dengan sebaik-baik cara. Negarawan-negarawan membuat begitu banyak kebijakan-kebijakan yang hampir-hampir mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat negera kita, negera Indonesia.

Waktu berjalan dan tentu saja kita juga bertumbuh. Memeroleh banyak pelajaran dari berbagai sumber, mencoba untuk menerjemahkan berbagai macam sudut pandang dan sikap. Ya, bernegera dihari-hari selanjutnya sudah tidak lagi sekadar menghadiri upacara pengibaran bendera setiap senin pagi.
sumber gambar : http://www.faithbasednetworkonwestpapua.org/

Konsep berbangsa, bernegara dan berdemokrasi semakin bertambah kompleks. Dengan kita membaca buku-buku sejarah, harian-harian, sajian Te-Ve dan media dalam bentuk lainnya mau tidak mau menjadi faktor pemicu terbentuknya sudut pandang kita sendiri mengenai konsep berbangsa, bernegera dan berdemokrasi, ini.

Selama ini kita dengan bangganya menyuarakan betapa bangganya kita dalam menjalankan amanat kenegeraan ini, akan tetapi menjadi sangat memilukan tatkala mengetahui betapa kita telah jauh keluar dari poros kenegraan yang begitu banggakan selama ini. Bahkan sosok negerawan yang kita "nomor satukan" begitu naif dalam menjalankan "tugas-tugasnya".

Menyoalkan kebijakan-kebijakan pihak pemerintah pusat yang diperuntukkan kepada Indonesia timur seolah menyoalkan pembagian dengan angka "0" , tidak akan memeroleh titik temu. Mengepa saya menggunakan perumpamaan ini? Anggap saja kebijakan-kebijakan yang ada adalah bernilai satu sedang sumber daya yang kita berikan adalah bernilai nol. Bisakah anda membayakan betapa lucunya ketika anda memerintahkan pekerja bangunan untuk membangun rumah, memberikannya konsep dan gambar rumah yang anda inginkan namun tidak menyediakan bahan baku? . Lebih dari lucu, hal itu adalah aneh bahkan bodoh.

Dengan penuh semangat, pemerintah pusat menggempur OPM atau gerekan "separatis lainnya" baik dengan TNI pun dengan media-media yang ada. Mengemas bentuk unjuk rasa mereka menjadi bentuk perlawanan. Apakah salah bagi seorang ibu menjewer telinga anaknya karena anaknya menjadi Malin Kundang dan Sangkuriang? .

https://freewestpapua.files.wordpress.com/2014/05/evilindo34.jpg
Sumber Gambar : freewestpapua.files.wordpress.com

Ya, meski tidak kesemuanya, tetapi hampir seluruhnya apa yang kita banggakan adalah "imbas" dari kekayaan tanah Papua. Mobil-mobil mewah, gedung pencakar langit dan jalan-jalan aspal-beton adalah hasil dari menguras tanah Papua. Jadi apakah salah jika masyarakat Papua melakukan hal itu? Dari tanah Papua pajak-pajak terbesar lahir, uranium terbaik dan emas-emas terbaik lahir. Bahkan kayu-kayu furnitur mewah nan indah kita, dulunya adalah pepohonan tempat masyarakat Papua berteduh dari terik matahari, hujan dan binatang buas.
http://ns226534.ovh.net/~eric/wp-content/uploads/2014/02/papua-01.jpg
Sumber Gambar :  http://ns226534.ovh.net

Masih bangga dengan konsep berbangsa, bernegara dan berdemokrasi selama ini? Jika kalian adalah masyarakat Papua, dapatkah kalian sediam Papua saat ini? Renungkanlah saudaraku. Bukannya saya ingin mendukung OPM atau gerekan separatis lainnya, akan tetapi, tidakkah kita merasa terlalu angkuh atau tepatnya durhaka kepada Papua, sehingga begitu berat untuk mencoba berbesar hati dan kembali menilik konsep berbangsa, bernegara dan berdemokrasi yang selama ini kita anut dan banggakan.

Makassar, 12 Agustus 2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan

Ditiap-tiap kehidupan, kita banyak menempuh jarak Entah itu jarak dari langkah ke langkah Jarak nafas ke nafas Jarak waktu ke waktu atau jarak rindu ke rindu Ditiap-tiap kehidupan, kita banyak menjejaki janji Entah itu janji dari batas ke batas Janji temu ke temu Janji benam ke benam matahari atau janji dari harap ke harap Dalam banyak perjalanan, kita banyak terhenti Entah itu henti lelah ke lelah Henti payah ke payah Henti luka ke luka atau henti dari sejenak ke selamanya Bukan karena tak lagi ingin; Hanya saja jarak, janji, dan perhentian tak selalu serindu, seharap, dan sekekal waktu Makassar, 11 Maret 2019

Efek Root "SEXY Killer"

Bismillah. Tak akan berpanjang lebar. Viral banget, ya? Jelas viral Film semi dokumenter ini menjadi bahasan jagad sosial media, kaum milenial khususnya. Tanggapanku soal film ini bagaimana? Untuk pengambilan gambar cukup bagus, sound qualitynya juga lumayanlah, untuk permainan narasinya juga bisalah mendapatkan nilai 6 untuk skala 1 sampai 10. Tetapi tidak secara data. Sudah jelas, segala sesuatu memiliki tujuan. Untuk seorang milenial atau pemilih tetap usia muda, tentunya film ini akan menjadi primadona dalam khazanah berfikir, karena seolah "meembuka mata dan membongkar fakta". Data adalah fakta, dan fakta adalah data. Data, dan fakta adalah sesuatu yang bersifat majemuk, saling terkait satu dan lainnya. Data akan selalu menyajikan kebenaran, dan kebenaran akan selalu menjadi bagian dari data. lantas dimana letak kesalahan dari Film ini? Dibandingkan menyebutnya sebagai karya yang gagal, saya mungkin akan menyebutnya sebagai pewajahan yang gagal.

Surat; Menemukan Kalimat Terindah

   Bismillahirrahmanirrahiim. Ada begitu banyak tanya menggelayut dibenakku. Ya, kebanyakan tentang takdir. Konsep mengenai takdir sebenarnya tak ada; "semua peristiwa adalah apa adanya, dengan korelasi aksi-reaksi" juga kerap datang menyapa imaji.