Assalamu alaikum
warahmatullahi wabarakatuh.
apa kabar
akhi dan ukhti?semoga kita semua masih sadar kalau setiap embusan
nafas kita adalah berkah dari Allah SWT.
Beberapa
pekan lalu saya mengikuti salah satu kegiatan kepenulisan, disana
kami banyak membahas mengenai banyak hal. Mulai dari pemilihan kata,
teknik penulisan, motivasi menulis dan salah satu jenis tulisan yang
membuat saya merasa tertarik adalah esai. Ketika mendengarkan paparan
pemateri mengenai esai seolah pemahaman saya benar-benar mengalami
refleksi ulang, selama ini saya menganggap esai adalah jenis tulisan
yang benar-benar ilmiah, teoritis dan tanpa unsur sastra sedikitpun.
Saya tidak membahas lebih jauh lagi tentang kegiatan saya selama
berada disana tapi sekadar menginformasikan saja, toh siapa tahu akhi
dan ukhti juga mengira esai adalah tulisan yang murni ilmiah, murni
teori tanpa unsur sastra.
Hari ini
kamis pukul 02:55 dini hari.
Saya
berfikir mengenai kepemimpinan oleh kaum adam. Banyak diantara kita
atau mungkin termasuk kita yang menganggap pemimpin sejati adalah
pemimpin selalu mengambil keputusan yang baik dan benar, dan
seharusnya begitu. Hari ini saya terbangunkan oleh sebuah pemikiran,
oleh sebuah filosofi tentang perahu dan layar patah dan menurutku hal
ini sangat erat kaitannya dengan “kepemimpinan”. Apakah anda
pernah mendengar ungkapan “badai pasti berlalu” ? . Dalam
ungkapan tersebut “badai” dikorelasikan sebagai masalah dalam
hidup, tapi dalam hal badai siapa atau tepatnya apa yang sedang
bermasalah? Jawaban yang paling tepat mungkin adalah perahu layar.
Entah
anda setuju dengan pendapat saya kali ini “menurut saya, ada masa
dimana kita benar-benar harus mengabaikan semua bantuan yang mungkin
ada cukup gunakan yang sudah ada, mengarsipkan tumpukan motivasi yang
ada cukup gunakan satu saja, menendang jauh-jauh prinsip yang mungkin
mejadikan kita pribadi dengan ego yang sangat besar dan benar-benar
serfive dengan kenyataan”.
Korelasi
atau hubungan antara pendapat saya dengan filosofi “perahu dan
layar patah” adalah seperti ini:
Badai =
masalah besar yang menjadikan kita terombang-ambing
Perahu =
kaum adam sebagai pemimpin
Layar =
bantuan dalam bentuk harapan, tumpukan motivasi, prinsip yang
terkadang menjadi ego berdampak buruk
Setelah
kita menyamakan pemikiran, sekarang saya akan mencoba menjelaskan
lebih dalam.
Selama
ini mungkin kita berfikir kalau perahu layar selalu mengembangkan
layarnya, jika anda berfikir seperti itu maka anda salah. Dalam
kenyataannya perahu layar akan menggulung layarnya ketika ada badai
yang besar, bahkan dalam keadaan yang sangat terdesak mereka akan
mematahkan layarnya dan membuangnya ke laut. Mengapa? Penyebabnya
adalah satu karena mereka memiliki dayung atau mesin sendiri, tapi
penyebab sebenarnya mereka melakukan hal itu adalah untuk bisa keluar
dari badai tersebut.
Naik
perahu layar di lepas pantai memang nikmat terlebih saat cuaca cerah
berangin, tapi ingat cuaca cerah yang ada dalam fikiran anda saat ini
adalah cuaca khayalan saja karena dalam kenyataannya laut tidak
selalu bercuaca cerah pun hidup yang tidak selalu bergelimang
kesenangan. Ketika berbicara mengenai kepemimpinan seolah kaum adam
adalah yang terhebat karena memiliki logika yang kuat, dan melupakan
atau bahkan mengabaikan kaum hawa atau akhwat dalam berpendapat dan
jika pemikiran anda seperti itu sebaiknya buang saja jauh-jauh, masih
ingin bertahan dengan prinsip tersebut? Kalau begitu silahkan tunggu
badai anda. Saya bukannya tidak menghargai persahabatan, tapi dalam
hal hidup ada masa dimana seorang sahabat mungkin akan meninggalkan
kita dalam badai. Toh bukankan ketika terjebak dalam badai beberapa
perahu sangat mungkin untuk mengambil jalan masing-masing. Hal yang
tidak mungkin meninggalkan anda dalam badai adalah mesin jika ada,
dayung dan perahu anda.
Ingat
tidak semua pelaut selamat setelah mereka mematahkan layarnya, dalam
kondisi yang lebih mendesak lagi mereka juga masih harus membuang
barang bawaan mereka. Setelah pelaut tadi membuang barang yang ada
mereka masih harus bertahan dengan berpengang erat. Lantas kepada
siapa kita harus berpegang ketika terombang-ambing dalam masalah?
Catatan :
kaum adam katanya 90% logika kalau benar seperti itu, saya hanya mau
bilang tidak semua masalah selesai dengan logika. Kaum hawa katanya
90% perasaan kalau benar seperti itu, saya hanya mau bilang “bukan
berarti kaum hawa tidak punya logika”. Ingat masalah sejatinya
lebih dekat dengan perasaan dibandingkan dengan logika.
Sekedar
intermezo. Beberapa tahun lalu saya pernah menjadi nelayan,
penghasilan utama tentu adalah ikan dan pernah satu hari saya melaut
sendiri dan terjebak badai yang cukup besar, daratan benar-benar
hilang dari pandangan, hujan sangat lebat, perahu tanpa mesin lebih
miris lagi hari itu saya harus kembali dalam kondisi hanya memegang
perahu yang layarnya kupatahkan, lebih setengah ton ikan hasil
tangkapan harus saya buang hari itu termasuk jaring yang biasa saya
pakai.
Sekian
dari saya mudah-mudahan bermanfaat saran, kritik membangun dan
pertanyaan silahkan via komentar. Saya juga sekaligus meminta maaf
kalau misalkan catatan saya kali ini dan sebelumnya meninggalkan
patahan jarum dalam hati akhi dan ukhti semua. jazakhamullah khair
Komentar
Posting Komentar